Jumat, 20 September 2013

Runner-Up Lomba Cerpen Lingkar Kategori Mahasiswa

KAYUHAN KAKI SI MBAH

Oleh:
Nama               : Annisa Nurul Pratiwi Sudarmadi
Alamat             : Jl. Tawang Mangu 6A Pelinggian Antirogo
No. Tlp            : 085258720xxx
Twitter             : https://twitter.com/iichach

“Kamu nggak punya ayah?” aku mengangguk. “Aku punya-nya ya cuma si Mbah.” Dari kecil pertanyaan itu selalu melintas di kepalaku. Kenapa orang-orang selalu melihatku dengan tatapan iba, itu juga selalu mengganggu pikiranku. Entah kenapa, Si Mbah cuma mengelus kepalaku pelan. “Le, temenin Simbah bikin layangan yuk.” Akhirnya pertanyaanku hilang terbawa angin. Si Mbah memang hebat, sekali Si Mbah mengajakku melakukan sesuatu hal yang mengasyikkan, aku pun cepat terlena dibuatnya.
Si Mbah. Itulah panggilan orang-orang di Ledokombo Kulon pada Mbahku. Otomatis, aku juga memanggilnya begitu. Perawakannya yang tegap membuat orang mengira Si Mbah adalah mantan gerilya perang. Tapi Si Mbah hanya terkekeh-kekeh menanggapinya. Ia tertawa melihatkan gigi-gigi dan rahangnya yang masih nampak kuat dan menampiknya pelan, “Lho kalau Simbah gerilya, Simbah pasti takut duluan. Serem!” Simbah memang pintar berkelakar.
Si Mbah juga senang sekali berkebun, kebunnya yang sering Si Mbah bilang, “Kebun Si Mbah sak’ipretle. Tapi kalau kamu sudah gedhe, belikan buat Si Mbah ya!” Si Mbah menepuk punggungku pelan. Aku Cuma termangu dan kembali bermain. Beli Kebun? Pakai apa?
Si Mbah biasa menyeruput kopi buatan Mak’e di kebun. Ia sering menimang buah yang ia unduh sendiri dan menjualnya ke kota. Yang aku tahu, Si Mbah pulang dan membawa uang walaupun biasanya cuma beberapa lembar berwarna kuning, tapi Si Mbah malah mengajakku membeli buku di terminal. “Le, ini buat beli buku ya. Belajar membaca itu penting. Nanti Si Mbah panggilin Mbak Nur buat ngajarin kamu.” Aku mengangguk-angguk kegirangan melihat Si Mbah membelikanku buku bacaan.
Ya, Mbak Nur adalah sosok kedua yang sempat mengisi hari hariku di waktu kecil. “Sap, kamu ngerti ini nggak?” Ia menunjuk-nunjuk bilangan dan  angka-angka di buku yang ia bawa. Aku mengangguk. “Ngerti mbak, ini ditambah ini sama dengan ini... tapi darimana?” Alhasil Mbak Nur menepuk jidatnya pelan. “Gini...” Mbak Nur mengulanginya dari awal.  Semakin aku beranjak besar, Mbak Nur makin jarang pulang. Kata Si Mbah, Mbak Nur lagi kuliah mau jadi perawat. Nanti kalau sudah lulus, Mbak Nur pasti kembali lagi.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebun Si Mbah semakin semarak  dengan bermacam-macam buah. Si Mbah sekarang juga aktif di setiap kegiatan desa. Si Mbah tetap sama seperti Si Mbah yang dulu, namun Si Mbah jadi lebih sering tadarus di masjid. Si Mbah semakin aktif menanam sampai aku masuk ke jenjang SMP di daerah Kalisat. Sampai aku umur belasan, masih ada saja tetanggaku yang usil bertanya, kapan ayahku kembali. Namun, aku masih saja belum bisa menjawabnya. Banyak yang bilang, Ayahku kabur karena Ibuku meninggal ketika melahirkanku. Ayahku depresi. Tapi ada juga yang bilang, Ayahku sudah hilang menjadi buruh di Malaysia. Dengan tidak ada kabar begitu, aku bisa menyimpulkan sendiri bahwa Ayahku benar benar sudah melupakanku. Intinya, sekarang aku cuma punya Si Mbah dan Mak’e.  
 “Le, gimana sekolahnya?” Tak seperti dulu, aku melengos dan menutup pintu keras. Biasanya waktu kecil, Si Mbah sering merayuku dengan mainan. Kalau sudah begini aku pasti luluh. Tapi pertanyaan orang-orang yang dulu sempat dilontarkan padaku, kembali lagi. “Kemana ayahku pergi?”
Aku tahu, Si Mbah bukanlah orang yang suka berbohong. Biasanya Si Mbah langsung menekan nekan jempolnya bila ragu. Aku tahu kebiasaan Si Mbah dari dulu. Begitu Si Mbah hanya tersenyum tipis, aku mengerti bahwa Ayah mungkin sudah tiada. Namun, senyum Si Mbah tidak menjawab pertanyaanku. Aku menelengkan kepalaku, menjerembabkan tubuhku diatas dipan reot kesayanganku. Entah kali ini rasanya aku lelah sekali memikirkan pertanyaan tetanggaku yang cerewet itu...
***
Menjelang kelulusan sekolahku, Si Mbah sudah menyiapkan batik pasangan Si Mbah dan Mak’e. Mak’e terlihat cantik berbalut kebaya ungu dan Si Mbah tetap terlihat tampan diantara pasangan orang tua teman-temanku. Kata Si Mbah, aku sudah membuatnya bangga dengan menjadi juara kelas. Namun, semua penghargaanku tak membuatku senang. Ketika orang-orang di sekitarku dipeluk cium oleh ibu-bapaknya, sedangkan kepalaku hanya dielus Si Mbah. Kali ini aku harus menyiapkan nyali untuk bertanya, Kemana ayahku pergi pada Si Mbah.
“Mbah.. Ayah itu kemana? Safe’i sudah siap mbah. Si Mbah tinggal bilang ayah kemana, kok susah tho Mbah...” Akhirnya hari itu Si Mbah menatap mataku benar-benar. Si Mbah menceritakan semua yang telah terjadi sebelum aku sempat lahir. “Le.. Intinya Ayahmu pergi buat kamu. Kamu ada karena Ayahmu kan? Si Mbah sudah cukup lelah menunggu anak Mbah yang satu itu. Kamu nggak perlu mikirin itu le, Biar Si Mbah aja.” Semua itu terasa bagaikan flashback, Mak’e datang membawa singkong goreng dan memberikanku teh hangat. Aku tertegun. Ayahku benar-benar melukai Si Mbah. Apakah aku harus tetap menunggunya dan melukai Si Mbahku? Sepertinya, Aku harus melupakan Ayahku, Demi Si Mbah.
***
Awal SMA, aku semakin terpuruk. Aku lebih sering main game online di dekat sekolahku bahkan aku sudah berani mencoba merokok di toilet sekolah. Si Mbah pernah menanyakanku apakah aku sudah merokok. Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali namun bau rokok masih menempel di bajuku. Sebersit rasa takutku akan cambuk Si Mbah yang siap menjilat kakiku dan menanggalkan noda merah. Tapi nyatanya, Si Mbah malah menepuk punggungku dan kemabali mengajukan pertanyaan, “Gimana sekolahnya, le?”
Si Mbah, di masa tuanya, lebih sering berkelana mencari bibit-bibit buah  baru di daerah kota. Sepulangnya Si Mbah langsung menanamnya di kebun. Setiap hari begitu, dan berturut turut. Sampai – sampai Si Mbah luput mengetahui Mak’e yang sering batuk – batuk di dapur. Aku menuntun Mak’e ke tempat duduknya di ruang tamu. “Mak, Fe’i panggil Mbak Nur ya. Tuh Mbak Nur sudah pulang dari Jember.” Mak’e hanya mengangguk lemah dan kembali meminum air putih yang aku ambil. “Sap, ini Mak’e..  Sakit. Coba dibawa ke puskesmas, Mbak Nur nanti yang temani.” Mbak Nur mengisyaratkanku memberi tahu Si Mbah. Tidak seperti biasanyanya, Si Mbah terlihat tergesa-gesa dan langsung berangkat ke puskesmas. Nampaknya Si Mbah mengkhawatirkan Mak’e.
Puskesmas Ledokombo terlihat ramai hari itu. Mak’e dilayani seorang perawat yang ramah ketika aku mendaftarkan Mak’e ke lobby. Aku menunggu di luar dan Mbak Nur masuk untuk menemani Mak’e di dalam bersama dokter jaga. Aku melihat wajah keruh Mbak Nur setelah keluar dari kamar jaga. Dengan suara pelan, ia menerangkan penyakit Mak’e padaku. “Mak’e kena TBC Sap. Belum telat juga, tapi tubuhnya Mak’e sudah drop. Alhamdulilah, Mbak Nur kenal sama apotekernya, dia kasih obat generic sama Mak’e. Nanti kalau kesini lagi, bilang aja, kamu ponakannya Mbak Nur. Biar Mbak Nur yang beresin administrasinya. Kamu bilang ke Si Mbah, kalau Mak’ e sakit batuk.” Aku hanya mengangguk dan sedetik kemudian bertanya, “Mak’e bakalan sembuh kan Mbak?” Pada saat itu aku melihat keraguan yang besar di wajah Mbak Nur, tapi ia meyakinkanku, dengan menggenggam tanganku erat. “Iya, Sap. Tenang aja, dokter sekarang pinter-pinter kok. Obat juga banyak.” Aku seakan diberikan sedikit kekuatan untuk menyampaikan semuanya ke Si Mbah.
Semenjak itu, Si Mbah lebih sering bolak balik ke kota untuk jualan buah. Aku memandangi kakinya yang kusam dan bajunya yang bertabur peluh tiap senja Si Mbah sampai ke rumah. Aku hanya bisa membuang semua perasaanku dengan membeli selinting rokok di warung dan mengisapnya pelan di kebun. Aku bingung harus melakukan apa untuk Mak’e. Sungguh aku mengkhawatirkan suara batuknya yang semakin lama semakin sering, rintihannya memanggilku untuk mengisikan air hangat di gelas minumnya, dan hembusan nafasnya yang semakin berat. Aku tidak cukup kuat untuk menahan perasaan ingin membantu. Aku rasa, ini perasaan yang sama ketika aku ingin bertanya pada Si Mbah kemana ayah pergi. Aku bingung dan hilang arah.
***
Hari itu aku lelah untuk kembali ke rumah. Aku menendang-nendang kerikil di depanku, dan merogoh sakuku. Uangku sudah habis, dan teman-temanku sudah pergi. Aku tidak bisa meminjam uang mereka lagi karena hutangku pada mereka pun terlalu banyak. Namun, kebanyakan dari mereka tidak complain, apabila aku meminjam uang rokok pada mereka. Yah, mungkin karena mereka juga butuh rokok, dan malas untuk keluar membelinya. Mulutku makin terasa janggal. Aku butuh rokok sekarang!
Sesampainya di warung, aku tertegun. Si Mbah disana! Sedang apa? Nampaknya Si Mbah sedang menawarkan dagangan ke penjaga warung. Pak Parto, penjaga warung yang sudah akrab padaku sedang menawar pada Si Mbah. “Simbahnya Sapi’i ya? Mbah iki piroan mbah?” Pak Parto menunjuk pisang mborlin. “Lha, biasane piroan to le.” Si Mbah memarkirkan sepeda tuanya ke pojok warung. Ups, hampir saja aku ketahuan kalau aku dibelakang tembok. “Wis mbah, sampeyan opo nggak capektho muter-muter Jember, Kalisat Ledokombo Cuma jualan ginian. Sini wes tak beli ae semua ya. Tak kasih rokok juga wes!” Si Mbah terkekeh-kekeh. “Le, kayak baru kenalan sama Simbah aja. Ditambahi kue aja, Si Mbah sudah lama nggak ngerokok. Buat Mak’e sama Safe’i di rumah.” Pak Parto jadi membalasnya dengan senyum. “Safe’i sudah lama nggak kesini Mbah. Dia kayaknya sudah berhenti ngerokok, Yo aku melu seneng, tapi daganganku iki nggak laku-lakue Mbah.” Pak Parto nyengir nyeleneh. Si Mbah mengambil kue dari Pak Parto dan menjawab, “Yo, tak dungakno ndangan laku kabeh. Laris manis! Tapi bukan Safe’i yang beli, wis aku tak mulih sek to. Assalamualaikum!” Pak Parto melambai ke arah Si Mbah dan kembali menata dagangannya. Aku melihat kayuhan kaki Si Mbah semakin lama semakin cepat dan semakin jauh dari mataku.
***
Aku menangis setelahnya. Air mataku berjatuhan. Si Mbah masih tetap seperti dulu, bahkan lebih baik dari dulu. Aku menyesal sempat meragukan Si Mbah. Aku harus berubah, berubah total. Aku yakin, ini saat dimana aku bisa membantu Si Mbah dan Mak’e.
Teman Teman yang dulu sering di sekitarku, lama-lama menjauhiku. Mereka menganggapku tidak sama seperti yang dulu. Aku lebih sering shalat di mushala, aku lebih rajin ke perpustakaan dan bertanya pada guru. Ulangan-ulanganku lama-lama membaik dan Aku bisa meraih peringkatku kembali. Aku kembali menjadi anak kesayangan guru. Awalnya, guru-guruku juga bertanya-tanya kenapa aku bisa berubah pikiran. Tapi semua pertanyaan aku kembalikan pada mereka diri mereka semua. Aku tidak harus menjawab pertanyaan mereka, bukan? Aku harus membalas, kayuhan kaki Si Mbah dengan segala upaya yang bisa aku lakukan. Demi Si Mbah, dan Mak’e semua bisa terjadi!
***
Kayuhan kaki Si Mbahlah yang membuatku bisa bersekolah. Kayuhannya yang pelan namun pasti mengantarkanku ke hari ini, dimana Kepala Sekolah memberikanku ijazah di atas panggung dengan predikat terbaik. Seperti biasa, Si Mbah datang dengan Batik Sumberjambe kebanggaannya dan Mak’e mendampinginya, walaupun aku tahu, Mak’e belum boleh terkena angin. Si Mbah datang menghampiriku dan mengelus kepalaku pelan. Hatiku meluruh pilu, kenapa aku baru sadar untuk membalas kayuhan kakinya yang sendu. Si Mbah yang pilu ditinggal anak laki-laki satu-satunya memperjuangkan pendidikan cucunya yang sempat kabur dari elusan tangannya. Aku bersyukur, Si Mbah dan Mak’e masih ada mendampingiku dalam perjalananku yang saat ini belum tuntas.
Aku sudah siap ketika Si Mbah akan bilang, aku tidak bisa meneruskan kuliah. Tapi tidak seperti yang kuprediksikan, Si Mbah malah berkata, “Le, Si Mbah sudah menawarkan tanah kebun belakang pada pak lurah Ledokombo. Kamu tenang saja, kamu ingin jadi apa? Insyinyur? Dokter? Perawat kayak Mbak Nur? Atau Arsitek? Nanti Si Mbah yang usahakan.” Aku menangis tersedu-sedu. Si Mbah memang tidak berubah, Beliau tetap berusaha membahagiakanku walaupun aku tahu, harta Si Mbah dari dulu kan cuma kebunnya yang rindang. Aku memandang Si Mbah dalam-dalam. “Mbah, Safe’i sudah mengajukan diri mendaftar di STIS. Mbah ndak perlu mbayar, ndak perlu menjual kebun. Safe’i Cuma perlu doa Si Mbah buat memperlancar semuanya. Si Mbah tahu kan Safe’i pintar matematika? Nah..” Aku mulai menjelaskan apa itu STIS, dan biaya pendaftaranpun sudah dibayar oleh Kepala Sekolah. Aku juga bilang, Si Mbah tidak perlu memberiku uang saku, karena sudah ada Tunjangan Ikatan Dinas. Si Mbah hanya perlu memberiku doa. Ya, Aku sudah siap membalas semua kayuhan kaki Si Mbah dari aku lahir sampai detik ini. Alhamdulilah, seluruh berkasku sudah siap dan administrasi sudah beres. Aku juga sudah mempersiapkan semua dan menata mentalku menghadapi hari H. Ujian Tahap satu aku lewati dengan mudah, Matematika adalah ujung tombakku menghadapi semuanya. Aku hanya kesulitan dengan Bahasa Inggris. Ujian kedua dan ketiga aku giring dengan doa Si Mbah dan Mak’e. Juga tak lupa dengan sujudku tiap malam.
Dadaku bergetar. Hari ini tanggal 19 Juli 2013, aku meluruh dengan bumi. Kupanjatkan syukurku dan ku bersujud padanya. Aku diterima, Ya Rab. Akhirnya aku bisa membahagiakan Si Mbah! Aku sedikit kebingungan setelah menerima pengumuman, darimana aku mendapat uang sebanyak dua juta lebih untuk awal masuk? Apa aku harus berkerja magang? Tapi Allah Maha Tahu. Si Mbah yang awalnya sudah bertekad kuat menjual kebunnya tapi malahan di tawarkan pinjaman tanpa batas oleh pak lurah. Pak lurah tersenyum mendengar ceritaku, Beliau menepuk punggungku dan berkata, “Sukses, nak! Ledokombo Kulon mendukungmu.” Aku diantar ke Jakarta dengan Pak lurah dan Si Mbah. Berkali-kali aku mengucap syukur. Inilah awalku, untuk membalas semua kayuhan Si Mbah yang sempat aku sia-siakan.
***
Kali ini aku menelpon Si Mbah dan memberitahunya bahwa aku akan kembali untuk menikmati liburku sehabis magang di Kabupaten Lumajang. Alhamdulilah aku sudah lama diberikan penempatan karena aku termasuk 20 besar di jurusanku. Aku sudah berhasil membiayai Mak’e beberapa tahun ini. Simbah juga sudah melebarkan kebunnya ke segala arah dengan bantuanku. Aku benar benar ingin membayar semua kayuhan kaki Si Mbah, kalau bisa harus seratus kali lebih banyak. Kali ini aku membawa kabar gembira lagi untuknya. Ah aku tidak sabar untuk bertemu Si Mbah.
***
Ternyata Si Mbah sudah berubah, Badannya sudah bertambah tua. Namun urat wajahnya masih seperti dulu. Si Mbah yang sama, makin agamis dan menyayangiku. Mak’e juga semakin sehat. Aku juga tidak bisa melupakan jasa Pak Lurah. Beliau tetap bersahaja seperti dulu. Aku benar benar membuat Si Mbah kaget dengan melihatku membawa foto anak laki-lakinya yang dulu sempat tidak ada kabar, Ya betul, Aku sudah diterima S2 di Malaysia, dan sempat berkenalan dengan TKI asal Indonesia. Dengan berbekal nama dan foto yang usang, Aku berhasil menemukan Ayahku disana. Ternyata beliau tidak pernah melupakanku. Beliau hanya lupa waktu dengan kerjanya. Ayahku berhasil menjadi mandor selama itu, dan sudah mempunyai tempat tinggal tetap disana. Ah, Aku lupa. Si Mbah, kayuhan kakimu, membuat aku, tidak.. bukan. Membuat kita sampai ke detik ini. Alhamdulilah, Terimakasih Si Mbah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar