KAYUHAN KAKI SI
MBAH
Oleh:
Nama : Annisa Nurul Pratiwi Sudarmadi
Alamat :
Jl.
Tawang Mangu 6A Pelinggian Antirogo
No. Tlp : 085258720xxx
“Kamu nggak punya ayah?” aku mengangguk. “Aku punya-nya ya cuma si Mbah.” Dari kecil pertanyaan itu
selalu melintas di kepalaku. Kenapa orang-orang selalu melihatku dengan tatapan
iba, itu juga selalu mengganggu pikiranku. Entah kenapa, Si Mbah cuma mengelus
kepalaku pelan. “Le, temenin Simbah bikin layangan yuk.” Akhirnya pertanyaanku
hilang terbawa angin. Si Mbah memang hebat, sekali Si Mbah mengajakku melakukan
sesuatu hal yang mengasyikkan, aku pun cepat terlena dibuatnya.
Si Mbah. Itulah panggilan orang-orang di Ledokombo
Kulon pada Mbahku. Otomatis, aku juga memanggilnya begitu. Perawakannya yang
tegap membuat orang mengira Si Mbah adalah mantan gerilya perang. Tapi Si Mbah
hanya terkekeh-kekeh menanggapinya. Ia tertawa melihatkan gigi-gigi dan rahangnya
yang masih nampak kuat dan menampiknya pelan, “Lho kalau Simbah gerilya, Simbah
pasti takut duluan. Serem!” Simbah memang pintar berkelakar.
Si Mbah juga senang sekali berkebun, kebunnya yang
sering Si Mbah bilang, “Kebun Si Mbah sak’ipretle.
Tapi kalau kamu sudah gedhe, belikan buat Si Mbah ya!” Si Mbah menepuk
punggungku pelan. Aku Cuma termangu dan kembali bermain. Beli Kebun? Pakai apa?
Si Mbah biasa menyeruput kopi buatan Mak’e di kebun.
Ia sering menimang buah yang ia unduh sendiri dan menjualnya ke kota. Yang aku
tahu, Si Mbah pulang dan membawa uang walaupun biasanya cuma beberapa lembar
berwarna kuning, tapi Si Mbah malah mengajakku membeli buku di terminal. “Le,
ini buat beli buku ya. Belajar membaca itu penting. Nanti Si Mbah panggilin Mbak
Nur buat ngajarin kamu.” Aku mengangguk-angguk kegirangan melihat Si Mbah
membelikanku buku bacaan.
Ya, Mbak Nur adalah sosok kedua yang sempat mengisi
hari hariku di waktu kecil. “Sap, kamu ngerti ini nggak?” Ia menunjuk-nunjuk
bilangan dan angka-angka di buku yang ia
bawa. Aku mengangguk. “Ngerti mbak, ini ditambah ini sama dengan ini... tapi
darimana?” Alhasil Mbak Nur menepuk jidatnya pelan. “Gini...” Mbak Nur
mengulanginya dari awal. Semakin aku
beranjak besar, Mbak Nur makin jarang pulang. Kata Si Mbah, Mbak Nur lagi
kuliah mau jadi perawat. Nanti kalau sudah lulus, Mbak Nur pasti kembali lagi.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebun Si Mbah
semakin semarak dengan bermacam-macam
buah. Si Mbah sekarang juga aktif di setiap kegiatan desa. Si Mbah tetap sama
seperti Si Mbah yang dulu, namun Si Mbah jadi lebih sering tadarus di masjid.
Si Mbah semakin aktif menanam sampai aku masuk ke jenjang SMP di daerah
Kalisat. Sampai aku umur belasan, masih ada saja tetanggaku yang usil bertanya,
kapan ayahku kembali. Namun, aku masih saja belum bisa menjawabnya. Banyak yang
bilang, Ayahku kabur karena Ibuku meninggal ketika melahirkanku. Ayahku
depresi. Tapi ada juga yang bilang, Ayahku sudah hilang menjadi buruh di
Malaysia. Dengan tidak ada kabar begitu, aku bisa menyimpulkan sendiri bahwa
Ayahku benar benar sudah melupakanku. Intinya, sekarang aku cuma punya Si Mbah
dan Mak’e.
“Le, gimana
sekolahnya?” Tak seperti dulu, aku melengos dan menutup pintu keras. Biasanya
waktu kecil, Si Mbah sering merayuku dengan mainan. Kalau sudah begini aku
pasti luluh. Tapi pertanyaan orang-orang yang dulu sempat dilontarkan padaku,
kembali lagi. “Kemana ayahku pergi?”
Aku tahu, Si Mbah bukanlah orang yang suka
berbohong. Biasanya Si Mbah langsung menekan nekan jempolnya bila ragu. Aku
tahu kebiasaan Si Mbah dari dulu. Begitu Si Mbah hanya tersenyum tipis, aku
mengerti bahwa Ayah mungkin sudah tiada. Namun, senyum Si Mbah tidak menjawab
pertanyaanku. Aku menelengkan kepalaku, menjerembabkan tubuhku diatas dipan
reot kesayanganku. Entah kali ini rasanya aku lelah sekali memikirkan
pertanyaan tetanggaku yang cerewet itu...
***
Menjelang kelulusan sekolahku, Si Mbah sudah
menyiapkan batik pasangan Si Mbah dan Mak’e. Mak’e terlihat cantik berbalut
kebaya ungu dan Si Mbah tetap terlihat tampan diantara pasangan orang tua
teman-temanku. Kata Si Mbah, aku sudah membuatnya bangga dengan menjadi juara
kelas. Namun, semua penghargaanku tak membuatku senang. Ketika orang-orang di
sekitarku dipeluk cium oleh ibu-bapaknya, sedangkan kepalaku hanya dielus Si
Mbah. Kali ini aku harus menyiapkan nyali untuk bertanya, Kemana ayahku pergi
pada Si Mbah.
“Mbah.. Ayah itu kemana? Safe’i sudah siap mbah. Si
Mbah tinggal bilang ayah kemana, kok susah tho Mbah...” Akhirnya hari itu Si
Mbah menatap mataku benar-benar. Si Mbah menceritakan semua yang telah terjadi
sebelum aku sempat lahir. “Le.. Intinya Ayahmu pergi buat kamu. Kamu ada karena
Ayahmu kan? Si Mbah sudah cukup lelah menunggu anak Mbah yang satu itu. Kamu
nggak perlu mikirin itu le, Biar Si Mbah aja.” Semua itu terasa bagaikan
flashback, Mak’e datang membawa singkong goreng dan memberikanku teh hangat.
Aku tertegun. Ayahku benar-benar melukai Si Mbah. Apakah aku harus tetap
menunggunya dan melukai Si Mbahku? Sepertinya, Aku harus melupakan Ayahku, Demi
Si Mbah.
***
Awal SMA, aku semakin terpuruk. Aku lebih sering
main game online di dekat sekolahku bahkan aku sudah berani mencoba merokok di
toilet sekolah. Si Mbah pernah menanyakanku apakah aku sudah merokok. Aku
menggelengkan kepalaku berkali-kali namun bau rokok masih menempel di bajuku.
Sebersit rasa takutku akan cambuk Si Mbah yang siap menjilat kakiku dan menanggalkan
noda merah. Tapi nyatanya, Si Mbah malah menepuk punggungku dan kemabali
mengajukan pertanyaan, “Gimana sekolahnya, le?”
Si Mbah, di masa tuanya, lebih sering berkelana
mencari bibit-bibit buah baru di daerah
kota. Sepulangnya Si Mbah langsung menanamnya di kebun. Setiap hari begitu, dan
berturut turut. Sampai – sampai Si Mbah luput mengetahui Mak’e yang sering
batuk – batuk di dapur. Aku menuntun Mak’e ke tempat duduknya di ruang tamu.
“Mak, Fe’i panggil Mbak Nur ya. Tuh Mbak Nur sudah pulang dari Jember.” Mak’e
hanya mengangguk lemah dan kembali meminum air putih yang aku ambil. “Sap, ini
Mak’e.. Sakit. Coba dibawa ke puskesmas,
Mbak Nur nanti yang temani.” Mbak Nur mengisyaratkanku memberi tahu Si Mbah. Tidak
seperti biasanyanya, Si Mbah terlihat tergesa-gesa dan langsung berangkat ke
puskesmas. Nampaknya Si Mbah mengkhawatirkan Mak’e.
Puskesmas Ledokombo terlihat ramai hari itu. Mak’e
dilayani seorang perawat yang ramah ketika aku mendaftarkan Mak’e ke lobby. Aku
menunggu di luar dan Mbak Nur masuk untuk menemani Mak’e di dalam bersama
dokter jaga. Aku melihat wajah keruh Mbak Nur setelah keluar dari kamar jaga.
Dengan suara pelan, ia menerangkan penyakit Mak’e padaku. “Mak’e kena TBC Sap.
Belum telat juga, tapi tubuhnya Mak’e sudah drop. Alhamdulilah, Mbak Nur kenal
sama apotekernya, dia kasih obat generic sama Mak’e. Nanti kalau kesini lagi,
bilang aja, kamu ponakannya Mbak Nur. Biar Mbak Nur yang beresin
administrasinya. Kamu bilang ke Si Mbah, kalau Mak’ e sakit batuk.” Aku hanya
mengangguk dan sedetik kemudian bertanya, “Mak’e bakalan sembuh kan Mbak?” Pada
saat itu aku melihat keraguan yang besar di wajah Mbak Nur, tapi ia
meyakinkanku, dengan menggenggam tanganku erat. “Iya, Sap. Tenang aja, dokter
sekarang pinter-pinter kok. Obat juga banyak.” Aku seakan diberikan sedikit
kekuatan untuk menyampaikan semuanya ke Si Mbah.
Semenjak itu, Si Mbah lebih sering bolak balik ke kota
untuk jualan buah. Aku memandangi kakinya yang kusam dan bajunya yang bertabur
peluh tiap senja Si Mbah sampai ke rumah. Aku hanya bisa membuang semua
perasaanku dengan membeli selinting rokok di warung dan mengisapnya pelan di
kebun. Aku bingung harus melakukan apa untuk Mak’e. Sungguh aku mengkhawatirkan
suara batuknya yang semakin lama semakin sering, rintihannya memanggilku untuk
mengisikan air hangat di gelas minumnya, dan hembusan nafasnya yang semakin
berat. Aku tidak cukup kuat untuk menahan perasaan ingin membantu. Aku rasa,
ini perasaan yang sama ketika aku ingin bertanya pada Si Mbah kemana ayah
pergi. Aku bingung dan hilang arah.
***
Hari itu aku lelah untuk kembali ke rumah. Aku
menendang-nendang kerikil di depanku, dan merogoh sakuku. Uangku sudah habis,
dan teman-temanku sudah pergi. Aku tidak bisa meminjam uang mereka lagi karena
hutangku pada mereka pun terlalu banyak. Namun, kebanyakan dari mereka tidak
complain, apabila aku meminjam uang rokok pada mereka. Yah, mungkin karena
mereka juga butuh rokok, dan malas untuk keluar membelinya. Mulutku makin
terasa janggal. Aku butuh rokok sekarang!
Sesampainya di warung, aku tertegun. Si Mbah disana!
Sedang apa? Nampaknya Si Mbah sedang menawarkan dagangan ke penjaga warung. Pak
Parto, penjaga warung yang sudah akrab padaku sedang menawar pada Si Mbah.
“Simbahnya Sapi’i ya? Mbah iki piroan mbah?” Pak Parto menunjuk pisang mborlin.
“Lha, biasane piroan to le.” Si Mbah memarkirkan sepeda tuanya ke pojok warung.
Ups, hampir saja aku ketahuan kalau aku dibelakang tembok. “Wis mbah, sampeyan opo nggak capektho muter-muter Jember, Kalisat
Ledokombo Cuma jualan ginian. Sini wes tak beli ae semua ya. Tak kasih rokok
juga wes!” Si Mbah terkekeh-kekeh. “Le, kayak baru kenalan sama Simbah aja.
Ditambahi kue aja, Si Mbah sudah lama nggak ngerokok. Buat Mak’e sama Safe’i di
rumah.” Pak Parto jadi membalasnya dengan senyum. “Safe’i sudah lama nggak
kesini Mbah. Dia kayaknya sudah berhenti ngerokok, Yo aku melu seneng, tapi daganganku iki nggak laku-lakue Mbah.” Pak Parto nyengir nyeleneh. Si Mbah mengambil kue
dari Pak Parto dan menjawab, “Yo, tak dungakno ndangan laku kabeh. Laris manis!
Tapi bukan Safe’i yang beli, wis aku tak
mulih sek to. Assalamualaikum!” Pak Parto melambai ke arah Si Mbah dan
kembali menata dagangannya. Aku melihat kayuhan kaki Si Mbah semakin lama
semakin cepat dan semakin jauh dari mataku.
***
Aku menangis setelahnya. Air mataku berjatuhan. Si
Mbah masih tetap seperti dulu, bahkan lebih baik dari dulu. Aku menyesal sempat
meragukan Si Mbah. Aku harus berubah, berubah total. Aku yakin, ini saat dimana
aku bisa membantu Si Mbah dan Mak’e.
Teman Teman yang dulu sering di sekitarku, lama-lama
menjauhiku. Mereka menganggapku tidak sama seperti yang dulu. Aku lebih sering shalat
di mushala, aku lebih rajin ke perpustakaan dan bertanya pada guru. Ulangan-ulanganku
lama-lama membaik dan Aku bisa meraih peringkatku kembali. Aku kembali menjadi
anak kesayangan guru. Awalnya, guru-guruku juga bertanya-tanya kenapa aku bisa
berubah pikiran. Tapi semua pertanyaan aku kembalikan pada mereka diri mereka
semua. Aku tidak harus menjawab pertanyaan mereka, bukan? Aku harus membalas,
kayuhan kaki Si Mbah dengan segala upaya yang bisa aku lakukan. Demi Si Mbah,
dan Mak’e semua bisa terjadi!
***
Kayuhan kaki Si Mbahlah yang membuatku bisa
bersekolah. Kayuhannya yang pelan namun pasti mengantarkanku ke hari ini,
dimana Kepala Sekolah memberikanku ijazah di atas panggung dengan predikat terbaik.
Seperti biasa, Si Mbah datang dengan Batik Sumberjambe kebanggaannya dan Mak’e
mendampinginya, walaupun aku tahu, Mak’e belum boleh terkena angin. Si Mbah
datang menghampiriku dan mengelus kepalaku pelan. Hatiku meluruh pilu, kenapa
aku baru sadar untuk membalas kayuhan kakinya yang sendu. Si Mbah yang pilu
ditinggal anak laki-laki satu-satunya memperjuangkan pendidikan cucunya yang
sempat kabur dari elusan tangannya. Aku bersyukur, Si Mbah dan Mak’e masih ada
mendampingiku dalam perjalananku yang saat ini belum tuntas.
Aku sudah siap ketika Si Mbah akan bilang, aku tidak
bisa meneruskan kuliah. Tapi tidak seperti yang kuprediksikan, Si Mbah malah
berkata, “Le, Si Mbah sudah menawarkan tanah kebun belakang pada pak lurah
Ledokombo. Kamu tenang saja, kamu ingin jadi apa? Insyinyur? Dokter? Perawat
kayak Mbak Nur? Atau Arsitek? Nanti Si Mbah yang usahakan.” Aku menangis
tersedu-sedu. Si Mbah memang tidak berubah, Beliau tetap berusaha
membahagiakanku walaupun aku tahu, harta Si Mbah dari dulu kan cuma kebunnya
yang rindang. Aku memandang Si Mbah dalam-dalam. “Mbah, Safe’i sudah mengajukan
diri mendaftar di STIS. Mbah ndak perlu mbayar, ndak perlu menjual kebun.
Safe’i Cuma perlu doa Si Mbah buat memperlancar semuanya. Si Mbah tahu kan
Safe’i pintar matematika? Nah..” Aku mulai menjelaskan apa itu STIS, dan biaya
pendaftaranpun sudah dibayar oleh Kepala Sekolah. Aku juga bilang, Si Mbah
tidak perlu memberiku uang saku, karena sudah ada Tunjangan Ikatan Dinas. Si
Mbah hanya perlu memberiku doa. Ya, Aku sudah siap membalas semua kayuhan kaki
Si Mbah dari aku lahir sampai detik ini. Alhamdulilah, seluruh berkasku sudah
siap dan administrasi sudah beres. Aku juga sudah mempersiapkan semua dan
menata mentalku menghadapi hari H. Ujian Tahap satu aku lewati dengan mudah,
Matematika adalah ujung tombakku menghadapi semuanya. Aku hanya kesulitan
dengan Bahasa Inggris. Ujian kedua dan ketiga aku giring dengan doa Si Mbah dan
Mak’e. Juga tak lupa dengan sujudku tiap malam.
Dadaku bergetar. Hari ini tanggal 19 Juli 2013, aku
meluruh dengan bumi. Kupanjatkan syukurku dan ku bersujud padanya. Aku
diterima, Ya Rab. Akhirnya aku bisa membahagiakan Si Mbah! Aku sedikit
kebingungan setelah menerima pengumuman, darimana aku mendapat uang sebanyak
dua juta lebih untuk awal masuk? Apa aku harus berkerja magang? Tapi Allah Maha
Tahu. Si Mbah yang awalnya sudah bertekad kuat menjual kebunnya tapi malahan di
tawarkan pinjaman tanpa batas oleh pak lurah. Pak lurah tersenyum mendengar
ceritaku, Beliau menepuk punggungku dan berkata, “Sukses, nak! Ledokombo Kulon
mendukungmu.” Aku diantar ke Jakarta dengan Pak lurah dan Si Mbah. Berkali-kali
aku mengucap syukur. Inilah awalku, untuk membalas semua kayuhan Si Mbah yang
sempat aku sia-siakan.
***
Kali ini aku menelpon Si Mbah dan memberitahunya
bahwa aku akan kembali untuk menikmati liburku sehabis magang di Kabupaten
Lumajang. Alhamdulilah aku sudah lama diberikan penempatan karena aku termasuk
20 besar di jurusanku. Aku sudah berhasil membiayai Mak’e beberapa tahun ini.
Simbah juga sudah melebarkan kebunnya ke segala arah dengan bantuanku. Aku
benar benar ingin membayar semua kayuhan kaki Si Mbah, kalau bisa harus seratus
kali lebih banyak. Kali ini aku membawa kabar gembira lagi untuknya. Ah aku tidak
sabar untuk bertemu Si Mbah.
***
Ternyata Si Mbah sudah berubah, Badannya sudah
bertambah tua. Namun urat wajahnya masih seperti dulu. Si Mbah yang sama, makin
agamis dan menyayangiku. Mak’e juga semakin sehat. Aku juga tidak bisa
melupakan jasa Pak Lurah. Beliau tetap bersahaja seperti dulu. Aku benar benar
membuat Si Mbah kaget dengan melihatku membawa foto anak laki-lakinya yang dulu
sempat tidak ada kabar, Ya betul, Aku sudah diterima S2 di Malaysia, dan sempat
berkenalan dengan TKI asal Indonesia. Dengan berbekal nama dan foto yang usang,
Aku berhasil menemukan Ayahku disana. Ternyata beliau tidak pernah melupakanku.
Beliau hanya lupa waktu dengan kerjanya. Ayahku berhasil menjadi mandor selama
itu, dan sudah mempunyai tempat tinggal tetap disana. Ah, Aku lupa. Si Mbah, kayuhan
kakimu, membuat aku, tidak.. bukan. Membuat kita sampai ke detik ini.
Alhamdulilah, Terimakasih Si Mbah.